PERANG YANG BELUM USAI

1. Guratan Tato di Lengan Aldo

Bulan Februari, peralihan musim penghujan menuju musim kemarau di kampung ini. Cuaca sulit diterka, seringkali hujan mendadak datang di kala langit terang tanpa mendung. Seperti pagi ini, Merah Putih di puncak tiang sepanjang 6 meter itu tak mampu berkibar dengan baik karena ternoda oleh ratusan titik hujan yang mendadak muncul mengiringi upacara hari senin di sebuah sekolah di atas bukit terpencil kampung Long Pahangai, Kalimantan.

Pak loreng Broto, seorang perwira tentara yang sedang mengadakan lawatan ke sekolah itu untuk menyosialisasikan pelantikan peserta Paskibra HUT RI ke 72 di Ibukota Kabupaten nanti.
'Sebuah prestasi membanggakan jika mampu terpilih diantara ribuan siswa se-Kabupaten.' katanya.

Pada sesi amanat upacara bendera yang disertai gerimis itu beliau secara singkat meminta kesiapan siswa siswi untuk mengikuti seleksi yang akan dilaksanakan besok sore.

Upacara selesai, berbondong-bondong anak-anak itu berlari ke kelasnya sambil mengibas-ngibas rambut dan ujung lengan seragamnya yang basah oleh hujan.

***

Bel gantung berdenting tiga kali, pertanda dimulainya pembelajaran. Pak guru Hendra berjalan gontai di teras-teras kelas menuju ruangan yang berlabelkan XI IPS C di atas pintunya,
"Fhh kelas ini lagi." keluhnya.
Seperti biasa, ketika mulai mendata siswa yang hadir, maka akan ada 6 hingga 9 huruf 'a' yang mengisi kolom-kolom absensinya.

Kelas ini memang menjadi topik panas perbincangan di ruang guru. Bagi guru yang masuk mengajar disitu, pasti akan membawa pulang cerita untuk diwartakan kepada rekan-rekan gurunya di kantor. Bukan tentang hal bagus, tapi karena di kelas inilah tempat berkumpulnya banyak jawara nakalnya sekolah. Bermacam model murid bisa kita temui di kelas ini, dan jangan katakan bahwa pergaulan mereka tertinggal karena berada di tempat terpencil. Tidak sama sekali.

Masuk kelas terlambat dengan handset di telinga, medsosan ketika guru menerangkan pelajaran di depan kelas, candu kolesom dan sederetnya, obat batuk+minuman serbuk, celana botol dan baju yang digulung hingga memamerkan ukiran-ukiran tato di lengan dan betis anak-anak murid kelas itu. Hasil imitasi dan kelabilan. Ada juga sih di kelas-kelas lain, tapi tak sebanyak kelas ini. Seperti itulah adanya. 8 orang tak hadir hari ini, Refaldo, Kahat, Juk, dan 5 orang lainnya.
'Pasti karena deadline tugas makalah sejarah' dongkol Pak Hendra.

Minggu lalu memang Pak Hendra sengaja memberikan tugas kepada kelas ini untuk membuat makalah tentang sejarah mempertahankan kemerdekaan karena dia hanya menjelaskan sedikit saja tentang bagaimana para pahlawan-pahlawan bangsa ini 71 tahun silam berjuang untuk memerdekaan Tanah Pertiwi. Hingga nyawapun rela digadai demi meraih kemerdekaan itu.

Tugas makalah tentang sejarah perjuangan setelah Agustus 1945 itu sengaja diberikan untuk memperdalam pengetahuan siswa tentang bagaimana upaya leluhur-leluhur kita dulu mempertahankan kemerdekaan yang ingin direnggut kembali oleh sekutu. Semoga menginspirasi anak-anak ini menjadi insan yang bertanggung jawab meneruskan cita-cita kemerdekaan. Bukan malah menyalahgunakan kemerdekaan itu.

***

Aldo menggerutu sambil berusaha menenggelamkan kembali kepalanya ke dalam bantal. Untuk kedua kalinya dia terjaga pagi ini setelah jam setengah 6 tadi Ibunya membangunkannya. Sempat bangun sejenak untuk meyakinkan si ibu agar segera meninggalkan kamarnya, kemudian terbaring kembali melanjutkan mimpinya. Kali ini getaran smartphone Samsung di atas meja kayu yang menderit-derit membuyarkan utopia mimpinya.

Meja itu terletak agak jauh di samping dipan tidurnya, dan dia harus bangun untuk dapat menggapainya, tapi rasa kantuk terlalu mengenakkan. Dering potongan lagu rock dari Jamrud yang sedang membooming anak-anak remaja di kampung terus saja mengganggu, tidak mengasikkan seperti saat kesadarannya kembali normal.

Led notifikasi berkedap-kedip, di layar hp terpampang sebuah ikon amplop surat, menandakan bahwa sebuah pesan masuk yang sedang menunggu untuk segera dibaca. Dengan bermalas-malasan terpaksa dia beranjak meraih hp itu. Dibutuhkan waktu agak lama untuk bisa memfokuskan pandangan melihat siapa yang begitu jahat merenggut mimpi indahnya.

'Arnol Gank' terpampang nama teman sekelasnya, "Shit". Ditapnya tombol open, "Pak Hendra udah tanya tugas kelompok nich, kamu cepat bawa ke sekolah. gpl" begitu isi pesan Arnoldinan Liling, mereka berdua berada dalam satu kelompok yang sama untuk membuat makalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Jam dinding yang terpajang di dalam kamar itu ditatapnya, jarum pendeknya telah menunjukan jam 8.55 pagi, sekolah mestinya sudah dimulai sejak sekitar 30 menit yang lalu.
"Shit" umpatnya lagi seperti judul lagu Jamrud yang sering didengarnya.

Aldo keluar dari kamarnya menuju ruang tengah mencari apa yang tersisa pagi itu, tapi rumah gantung khas suku Dayak itu telah kosong. Hanya aroma telur goreng diatas sepiring nasi yang memikat langkahnya untuk mendekat menikmati sarapan yang sudah disiapkan Ibunya. Dia memang tinggal berdua saja dengan Ibunya yang seorang guru SD. Sedang ayahnya, Pak Martinus ialah seorang tentara dan sementara bertugas di perbatasan. Hanya sesekali dalam sebulan ia pulang ke rumah.
"Mungkin ibu sudah berangkat sejak tadi karena hari ini upacara." pikirnya.
 Setelah mentransfer seluruh sarapan itu kedalam perutnya, dia bersantai-santai kembali di kamar sambil mendengarkan lagu Jamrud kesukaannya. Hari ini tak boleh ada pikiran tentang sekolah, katanya kepada diri sendiri.

***

Keesokan harinya, Pak guru Hendra menerima secarik memo dari Ibu Yaya. Perihal seleksi paskibra, katanya untuk menyertakan nama anak nyonya Martinus yang bapaknya tentara itu lho, Ibunya tadi malam datang ke rumah. Kebetulan Pak Hendra yang bertanggung jawab untuk memilih siswa yang berhak ikut seleksi.

20 orang tercatat untuk mengikuti seleksi, termasuk Aldo. Pantas juga sebenarnya dia untuk ikut, badannya cukup tinggi, lagian orang tuanya ialah keluarga terpandang di kampung ini. Ayah Ibu kerja di pemerintahan. Hanya saja satu yang mengganjal, sifat pembangkangnya yang menjengkelkan, itu jika tato di lengan kirinya tidak masuk dalam hitungan seleksi.

Pada jam istirahat Pak Hendra kemudian mengumumkan nama siswa-siswi yang akan ikut seleksi. Seluruh siswa antusias ingin mengetahui siapakah gerangan yang terpilih. Ada yang kecewa karena namanya tak masuk dalam daftar, ada juga yang biasa-biasa saja responnya melihat namanya terpampang seakan sudah yakin bahwa dia pasti masuk. Yang kecewa ialah siswa-siswi yang merasa dirinya lebih berhak untuk masuk dibanding beberapa nama yang ada di dalam daftar itu.

***
Sore yang panas dengan geledak hentak kaki siswa-siswi yang sedang mengadakan seleksi paskibra. Kegiatan diadakan di dalam aula baru sekolah itu karena cuaca diluar begitu panas, alasan Pak Broto dan dua assessor lainnya. Aula itu terbuat dari papan, hingga derap langkah mereka terdengar hingga ke ujung kelas sana.

Penilaian terus berlansung, satu persatu siswa-siswi itu di tes kemampuan baris berbarisnya, ketahanan fisik, dan sebagainya. Peluh menetes, kertas penilaian terisi dengan banyak ceklis dan silang. Hingga tiba pada satu murid, Pak broto dan dua assesor lainnya mengkerutkan dahi memandang gusar pada lengan siswa itu, lansung membuat coretan memanjang di kertas penilaian. Dia menoleh pada Pak Hendra di sampingnya seolah mengisyaratkan "Kenapa anak ini bisa diikutkan dalam gedung ini?" seperti itu mungkn maksud Pak Broto tapi tak diucapkannya, senada dengan pikiran dua asesor lainnya yang juga menoleh pada pak guru sejarah itu seakan bertanya,
"Apa sekolah ini menganggap pengibaran bendera merah putih ialah ajang pameran kesenian tubuh?" Pak Hendra tak tau harus berekspresi seperti apa, serba salah karena memang ia yang bertanggung jawab.

Pak Broto menyerahkan hasil seleksi kepada Pak Hendra. Dari dua puluh siswa, sepuluh orang yang dibutuhkan oleh Pak Broto pada awalnya, berkurang menjadi delapan siswa.

***

Infrastruktur desa-desa terpencil, sektor pembangunan yang jadi prioritas daerah ini setelah beberapa tahun lalu resmi menjadi sebuah kabupaten termuda di Kalimantan.

Semenisasi jalan dalam kampung, pembangunan tower telpon seluler, dan masuknya listrik-listrik pedesaan menggembirakan warga kampung. Televisi di rumah-rumah sekarang. Mereka dapat menyaksikan dan turut menikmati gemerlap dunia. Senang, tentu saja. Tujuannya ialah memajukan kualitas dan memodernisasi SDMnya, yang terpantek cukup dalam dan lama tak terekspos dunia global akibat letak geografis yang terisolir. Terletak di daerah terpelosok hulu sungai Mahakam, jalur satu-satunya yang paling masuk akal untuk ditempuh dari Ibukota Provinsi Samarinda ialah dengan mengarungi riam-riam deras sungai Mahakam sepanjang ratusan kilometer menggunakan perahu cepat atau perahu panjang khas suku Dayak.
 
Tapi apa daya, cuplikan itu terlalu mengemilau hingga membutakan mata. Tak bisa membatasi diri menyesapi hingga mendegradasi moral.

Pak Hendra sering mewanti mereka tiap waktu, tiap hari, agar jangan terjerumus, terjerumus dan terjerumus. Termasuk tato untaian ranting mawar seperti garis yang saling selang seling di lengan kiri Refaldo Martinus, acapkali dia terangkan dampak buruknya, tidak ada untungnya sama sekali.
"Menyakiti badan, merusak karunia Tuhan, dan akan merenggut sebagian besar masa depanmu." Begitu kata-kata yang sering diucapkannya kepada Aldo dan gerombolannya.
Tetap saja mereka tidak percaya.
"Tato adalah tradisi" kilah mereka.
"Tapi aku meyakini itu adalah kenakalan remaja." kata Pak Hendra
"Andai dapat kubuatkan sebuah tato untukmu, ingin kukubuatkan tato dari rajaman rotan di betismu itu, kelak akan lebih bermakna untukmu dibanding motif rangting-ranting itu. Tapi sayang, hukum telah membatasi privilaseku nak." Keluh pak guru sejarah itu pada diri sendiri.

Bagaimana sedihnya para leluhur andai menyaksikan kebebasan yang diperjuangkan jiwa raga itu bukannya memberi manfaat, malah menjerumuskan, terlebih pada generasi muda? Kepayahan untuk menyaring kultur yang masuk melencengkan arah tumbuh. Seperti telur terinfeksi angin jahat karena cangkang yang rapuh, tumbuh tidak sesuai harapan dan menebar busuk.
Dikampung ini, estafet perjuangan itu masih tetap diteruskan oleh pak Hendra bersama segelintir pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa itu, belum boleh ada kata 'Merdeka'. Perang dengan senjata mungkin telah usai, tapi perang melawan demoralisasi anak didik akibat kemajuan peradaban masihlah panjang, dan mungkin tiada akhir.

0 Response to "PERANG YANG BELUM USAI"

Post a Comment