PERANG YANG BELUM USAI. PENDIDIKAN MORAL

2. Fajar Yang Tak Kunjung Datang

Dengung Gong telah berhenti sejak dua jam lalu. Dawai Sape dan tabuh genderang tak lagi terdengar, berganti deras hujan menyapu retakan tanah di awal bulan April. Seolah kurang cukup ganjil untuk musim kemarau ini, guntur dan kilat juga membelah kelamnya siang itu.

Para gadis penari dalam acara Nefukoq (pasca panen) berteduh di Lamin adat. Sementara Bapak-Bapak yang sibuk menggulung tenda berjingkat-jingkat di genangan air, sambil sesekali menoleh ke awan hitam di atas sana seperti takut akan amarah langit yang suatu waktu pasti akan menyambarkan kilatan petir ke kampung itu.


*****
Air hujan membanjir, mengalir mengairi relung Mahakam. Dua orang remaja masih terbaring tak sadarkan diri di atas pasir tepian sungai. Air mulai meluap menutupi cuatan batu dan ranting-ranting kayu di permukaannya. Disamping kedua remaja itu, tujuh botol miras, beberapa bungkusan minuman serbuk, dan kulit kacang kudapan yang sebagian isinya telah kosong.

Air sungai kini menghanyutkan bungkusan-bungkusan itu. Dalam kegelapan mimpi salah seorang remaja, Bala, melihat dirinya terkurung dalam goa dengan tangan terikat yg tak mampu ia lepaskan. Ratusan lebah menyengat tubuhnya, ingin meronta, tapi daya tak ada. Sengatan itu tak perih, namun menimbulkan sayatan dingin menjalari sekujur tubuhnya, semakin lama semakin membuat nafasnya sesak. Tepat sebelum dia kehabisan nafas, sisa kesadaran melintas untuk memaksa matanya terbuka, penglihatannya kabur dan berpusing sebelum terfokus mendapati dirinya terbaring di tepian sungai yang telah merendam hampir seluruh tubuhnya.

Dengan sisa tenaga yang hampir tidak ada, Bala merangkak ke tepian sungai yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Tubuhnya begitu linlung dan kedinginan, dia melihat Fajar di belakangnya masih terbaring di bekas pesta miras tadi. Bala berusaha memanggilnya, namun suara yang keluar sangat lemah dan tak jelas untuk membangunkan Fajar yang teler.

Bala terbaring letih tak sadarkan diri kehabisan tenaga di tepian sungai. Hujan terus tertumpah, menghanyutkan botol-botol itu bersama seonggok tubuh tak berdaya milik Fajar.

***
Semalaman seusai hujan mereda, para warga mencari tubuh Fajar, ada yang menggunakan perahu ces, ada jua yang berjalan kaki menyusuri hutan-hutan di pinggir sungai Mahakam. Tak seorangpun yang kembali dengannya.

Pak Setujio menenangkan istrinya, Ibu Soipah yang terkulai lemah di pembaringan menangisi anaknya si Fajar tak kunjung datang.

0 Response to "PERANG YANG BELUM USAI. PENDIDIKAN MORAL"

Post a Comment