KUNJUNGAN KE LONG PAKAQ, KAMPUNG MITOS RIAM MAHAKAM


Penulis. Astis Madang Juk.
Saya teringat dengan kutipan dari sahabat saya pada artikel sebelumnya, "Persaudaraan tak mesti lahir dari rahim yang sama"
SM3T Long Pahangai, Astis, Jeje, Nopri, Fitri, Katerina(Siswi), Indra, Agung, Abrar, Asrul
Hari libur 4 hari bertepatan dengan hari raya Imlek, dilanjutkan dengan tes serempak PTT (Pegawai Tidak Tetap) seMahakam Ulu memberikan kami kesempatan untuk liburan di tengah-tengah kesibukan pengabdian di Long Pahangai.

Beberapa hari sebelumnya di kelas XB, saya menyinggung materi pengalaman pribadi tentang liburan, Recount Text. Di akhir jam mengajar, seorang siswi, Katerina Beq kelas XB mengajak saya mengunjungi kampungnya, Long Pakaq untuk turut mencicipi indahnya bukit Milih. Tentu saja tak saya tolak tawaran itu.

Meeting di Balkon Rumah

Malam Jum’at 26 Januari 2017Saya (Astis), Pak Korcam (Abrar), dan Nopri berada di balkon rumah panggung yang kami tempati membahas agenda yang akan dilakukan untuk mengisi hari libur ini. Menilik peluang dan resources yang ada, keputusan final yaitu mengunjungi teman-teman seKecamatan di kampung-kampung terdalam Long Pahangai. Kebetulan tempat terjauh penempatan SM3T Long Pahangai ialah Long Pakaq, sekampung dengan tempat asal Katerina Beq yang kemarin mengajak saya menyusuri Bukit Milih. Segera saya sms Katerina malam itu juga untuk memastikan. Dalam trip nanti kami tak akan ditemani dua gadis manis SM3T yang juga tinggal bersama kami di rumah itu, Elis dan Ina. "Karena perahu yang digunakan terlalu kecil, dan arus sungai sangat deras." begitu alasan pak Korcam menunjukan rasa pedulinya kepada dua gadis itu.

Berangkat dari Long Pahangai

Pukul 10.30 pagi, Jum'at tanggal 27 Januari 2017. Hp bergetar tanda sms masuk. SMS dari Katerina, segera saya buka. Isinya agar bersiap-siap karena mereka akan segera berangkat. Aku, Nopri, dan Abrar pulang lebih awal dari sekolah hari itu, dan segera packing keperluan ke Long Pakaq nanti.

Ipui, Mawar, Katerina
Di dermaga telah menunggu Katerina. Dia menunjukan perahu yang akan kami tumpangi, ternyata betul-betul sungguh sangat terlalu kecil untuk kami berenam. Sempat ciut nyali. Di atas perahu telah menunggu 2 siswi lainnya. Mawar, dan Si Ipui yang rambut cepak sebagai motoris.

Perahu dengan lamban mulai meninggalkan dermaga. Di paling depan duduk si Mawar, diikuti Abrar(Korcam) dan Nopri, sementara saya dibelakang bersama Katerina dan Ipui si motorist. Karena perahu yang syarat muatan, perahu ces kami melaju sangat perlahan. Kecepatannya hanya hampir secepat aku berjalan. Juga, arus sungai yang beriam semakin menyulitkan laju perahu. Untungnya saya memakai pelampung, mengantisipasi kemungkinan terburuk jika terjadi apa-apa nanti. Kata ayah, selalu sedia pelampung walau bisa berenang.
Dermaga Long Pahangai, always use your life jacket
Petaka di Tengah Riam

Sekitar pukul 11.30, Satu jam ngeces ternyata baru bisa mengantarkan kami sejauh seperenam perjalanan. Arus sungai yang deras menyulitkan perahu untuk melaju. Motorist beberapa kali kulihat melonggarkan genggamannya pada gagang kendali ces karena kesemutan. Kasihan, Aku lalu mengambil alih posisi motorist, memberikan kesempatan kepada Ipui untuk beristirahat. Posisi kami bertukar.

Posisi kami bertukar, saya sekarang yang jadi motorist. Untungnya Keahlian kakek yang dulu juga seorang nelayan unggul menurun padaku. Saya memegang kendali mesin ces, meliuk-liuk menyusuri sungai Mahakam. Arus yang deras mengharuskan saya bermanufer ke kiri dan kanan silih berganti mencari arus tenang agar tak membebani mesin ces.

Pukul 01.15 siang. Hampir dua jam saya memegang ces. Pegal rasanya jari-jariku menggenggam gagang ces. Sekitar setengah jam lagi kami akan tiba di kampung berikutnya, Long Lunuq, lokasi penugasan Agung Wiyoto, peserta SM3T asal Merauke.
Di depan terdapat riam yang lumayan besar. Saya membelokan perahu sedikit ke tepian untuk menghindarinya. Saat itulah terjadi petaka bagi mesin ces kami. Perahu kami kehantaman dasar sungai, ekor mesin jadi longgar karena ada yang patah dibagian plin(ekor), untungnya tak lepas dari bodi mesin. Perahu ces menjadi semakin sulit untuk bergerak, sangat pelan dan susah dikendalikan arahnya.
Sialnya lagi, ketika saya coba memeriksa kerusakan, ternyata genangan air di dalam ces juga merendam hp saya yang entah sudah berapa lama disana. Cepat saya ambil hp itu dan meminta Abrar untuk mengeringkannya. Tak kupedulikan lagi hp itu, yang utama ialah ces ini, agar kami tak terbawa hanyut arus sungai. Perahu ces tadi saya paksakan untuk terus berjalan meski sulit mengendalikan gas yang tak terkontrol dan ekor kemudi yang terbalik.

Perahu ces terus saya paksakan untuk bisa tiba di Long Lunuq. Setelah berjuang keras selama sejam, akhirnya kami tiba di Long Lunuq. Tak nyana jari-jari saya seperti mati rasa.

Long Lunuq, Menjemput Agung

Pukul 3.00 sore hari. Perahu kami sandar di rakit pinggir sungai. Kami harus beristirahat dan menjernihkan pikiran guna memikirkan langkah B untuk sampai ke Long Pakaq. Kami akan menemui Agung terlebih dahulu. Setelah tanya sana sini pada warga setempat, dapat juga tempat tinggal saudara dari Papua ini, mes sekolah. Dia sampai terheran-heran melihat kami yang baru tiba. Abrar kemudian menceritakan apa yang terjadi.

Monitoring dan Evaluasi Agung Wiyoto, Long Lunuq
Dari hasil tukar pikiran, kami ketahui bahwa kondisi mas Agung baik-baik saja selama disini. Sempat curhat tentang kondisi siswa di Lunuq yang katanya susah berhitung, padahal sudah smp kelas 9. Seperti itulah keadaannya. Yang bisa kami anjurkan ialah mengajarkan siswa siswi itu apa yang mereka butuhkan, bukan memaksakan materi bookish yang susah mereka pahami.

Setelah usai beristirahat dan berdiskusi, kami akan melanjutkan perjalanan. Agung menawarkan untuk meminjam perahu ces di kantor desa. Dengan sedikit negosiasi pada operator ces, kami dapatkan ces itu dengan perjanjian akan kami kembalikan besok pagi. Ces milik Ipui kami tinggal di Lunuq untuk diperbaiki nantinya.

Abrar menumpang perahu ces milik Paskalis
Ketika kami mulai menurunkan perahu Desa, ada sebuah perahu juga bersandar di rakit. Perahu milik Paskalis, siswa saya juga di SMAN Long Pahangai. Kebetulan yang tidak diduga, mereka juga akan ke Long Pakaq, maka kami membagi anggota tim.  
Agung yang memutuskan untuk ikut, naik bersama kami di perahu desa, sementara Abrar ikut bergabung dengan perahu milik Paskalis. Kami berangkat dari kampung Long Lunuq sekitar pukul 4.30. Perjalanan akan menghabiskan waktu sekitar sejam lagi dari sini ke Long Pakaq, kata Tului yang kini jadi motoris kami menggunakan perahu desa.


Melanjutkan Perjalanan dengan Menumpang Ces Lain

Pukul 4.40 Dua perahu berangkat dari Long Lunuq. Dengan perahu yang lebih besar, beban berkurang, dan mesin 10pk, riam-riam yang tadi begitu gigih merintangi perjalanan kami kini tak setangguh sebelumnya. Perahu mengarungi Mahakam dengan lancar. 
Lanjut perjalanan dengan perahu ces milik Kantor Desa Long Lunuq

Pukul 5.30. matahari hampir tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tersamar sebuah gunung dihiasi bukit tinggi menjulang di tengahnya. Itulah Batu Milih. Artinya tak lama lagi kami akan sampai di Long Pakaq. Semua rombongan berteriak lega. Setelah perjalanan yang begitu melelahkan, akhirnya tinggal beberapa menit lagi kami akan sampai di kampung Long Pakaq, tempat Jeje dan Fitri ditugaskan.

Long Pakaq, Menjejaki Batu Milih

Pukul 6.00 senja hari. Long Pakaq tempat tinggal Jeje dan Fitri ternyata merupakan kampung yang masih betul-betul kampung. Kampung ini terdiri hanya dari beberapa kepala keluarga saja. Rumah-rumah yang ada juga semuanya masih merupakan rumah tradisional suku dayak. Kami naik ke daratan dan menarik nafas lega.
Long Pakaq, kampung penuh legenda

Saya dan rombongan SM3T lainnya lansung menuju rumah si Jeje dan Fitri. Katerina dan Ipui jadi penunjuk jalan. Ternyata di rumah tak ada orang, kata tetangga mereka sedang ke bukit sinyal.  Kami lalu menyusulnya ke sana.

Mendaki Bukit Sinyal dan Menampung Air Hujan

Bukit Sinyal, bukit bertuah pemberi berkah sinyal telkomsel
Senja di Bukit Sinyal. Silih berganti kami bertemu warga dalam pendakian menyusuri perdu menuju Bukit Sinyal. Bukit sinyal ialah satu-satunya spot yang terjangkau sinyal hp di daerah itu. Jika ingin menelepon, warga mesti berjalan sejauh sekitar 500m menaiki bukit, dan akan sampai ke spot yang ada sinyalnya. Spot sinyal tersebut digunakan oleh warga dari tiga kampung, Long Pakaq, Long Kuling, dan Delang Krohong. Jika ingin menelepon, hp harus menggantung pada sebuah batang kayu yang ditancapkan ke tanah, dan kita harus berbicara lewat headset. Itulah sekelumit tantangan si Jeje dan Fitri yang diungkap dalam sesi evaluasi oleh pak Korcam (Abrar) senja itu.
Esok harinya, Sabtu 28 Januari 2017. Selain masalah komunikasi, yang menjadi keluhan kedua kembang desa itu ialah masalah air. Jika ingin mandi dan memasak, berdua harus mengangkat air dari sungai yang jaraknya sekitar 80 meter dari gubuk sewaanya. Olehnya itu, dengan inisiasi dari Pak Korcam (Abrar Tomanurung), para peserta pria lainnya segera mengumpulkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Pancuran air hujan dibuat dari bambu yang dilekatkan pada atap, kemudian akan air dialirkan menuju penampungan yang dibuat dengan bahan ala kadarnya dari sisa-sisa potongan kayu, bambu dan terpal. Semua fix sebelum tengah hari.
Pembuatan bak penampungan dan talang air  hujan
Tamu Tambahan
Jones dan Asrul
Pukul 12.00 siang, ketika sedang istirahat seusai kerja rodi, kami kedatangan tamu tambahan, Jones (Indra Dae) dan Asrul. Mereka juga berangkat dari Long Pahangai, mengajar di SMPN 1 Long Pahangai, namun berbeda tempat tinggal dengan kami bertiga (Abrar, Astis, Nopri). Sungguh beruntung kedatangan mereka pada saat kami selesai bekerja. Pak Korcam lalu memerintahkan mereka untuk mencari minuman sebagai pelepas dahaga di siang yang panas itu. Si Jones dan Agung yang berangkat keluar gubuk.
Dengan keahlian timurnya, si Jones menggombali warga kampung untuk meminta buah kelapa. Agung yang bertugas memanjatnya. Alhasil, 6 buah kelapa muda dibawa ke gubuk. Segar betul airnya menghapus dahaga siang itu.

Jejak Kaki di Kampung Delang Krohong dan Long Kuling
Daun Kacang(Pandan Hutan Berduri)
Sore hari pukul 4.00 rombongan bersama-sama keliling kampung, berkunjung ke kampung-kampung seberang. Kampung Delang Krohong yang mayoritas penduduknya ialah muslim. Disana saya menyaksikan ibu-ibu yang sedang mengayaman tas dan keranjang tradisional dari daun kacang, sejenis pandan hutan yang berduri sisinya. Ada juga keceriaan anak-anak dengan permainan-permainan ala kampung yang sudah tak ada lagi di perkotaan, mengingatkan masa kecil.

Permainan Boi.
Permainan tradisional lainnya. Nopri mencoba peruntungan.
Kampung Long Kuling yang merupakan cikal bakal Kampung Long Pakaq (Long Pakaq Lama) dimana mayoritas penduduknya ialah katolik. Saya sangat kagum dengan toleransi di ketiga kampung ini. Berdasarkan keterangan dari warga, penduduk ketiga kampung tersebut banyak yang memiliki hubungan kekeluargaan.
Kampung Long Kuling, Kampung Tertua
Minggu, 29 Januari 2017. Keesokan harinya kami habiskan dengan berjalan-jalan di seputaran kampung dan curhat-curhatan sesama peserta SM3T. Rombongan tak dapat pulang hari itu karena air sungai meluap akibat hujan deras semalam di hulu sungai Mahakam. Malam harinya sempat terjadi clash antara dua orang dari rombongan kami. Beruntung yang lain bisa mendinginkan hingga tak sampai terjadi adu fisik. Hujan terus mengguyur malam itu. Malam yang beku dengan suasana hati yang dingin antara dua kubu. Kamipun tertidur. Semoga esok aku terbangun mendapati suasana hati yang mencair seiring dengan terbitnya matahari menghangati lembah itu.
Jejak kaki di Long Kuling
Senin, 30 Januari 2017 rombongan kami pulang dengan menumpang long boat karena motoris-motoris perahu ces tak berani menyebrangi riam yang deras. Sedih harus meninggalkan kedua gadis kembang desa itu berdua. Selamat berjuang saudari-saudariku yang perkasa. Berikan yang terbaik untuk murid-muridmu disana. Ingat janjimu, dedikasi setulus hati agar kelak adik-adik kita melek pendidikan dan mengenal dunia di luar kampung mereka. 
Doaku untuk adik-adik ini, 'semoga kelak jadi anak yang cerdas, memberikan manfaat yang besar untuk keluarga, kampung, nusa dan bangsa.'
Pengalaman tak terlupakan dari kampung Long Pakaq, Bukit Sinyal, Legenda Batu Milih, Kampung Muslim Delang Krohong, Kampung Tertua Long Kuling, Riam Mahakam. Hari-hari yang penuh kesan bersama saudara-saudara SM3T. Perselisihan yang sempat terjadi membuat persaudaraan diantara kami semakin kuat. Memahami kelemahan diri sendiri dan memaafkan menjadi tambang yang kuat pengukuh persaudaraan, meski berasal dari tempat-tempat yang jauh terpisah. "Tak mesti dari rahim yang sama" Noprianto, 2016.
Membagikan senyum kebahagiaan untuk anak-anak Long Pakaq

0 Response to "KUNJUNGAN KE LONG PAKAQ, KAMPUNG MITOS RIAM MAHAKAM"

Post a Comment