Lena dan Teo,
kakak beradik ini ialah dua dari banyaknya anak-anak kampung Datah
Suling yang bergantung pada perahu ces untuk secercah ilmu. Suka duka di
atas perahu menjadi bumbu pemanis pengalaman pendidikan yang tak akan
pupus dalam ingatan Pak Astis Madang Juk saat mendapat kesempatan mengajar di
rimba Kalimantan ini selama setahun dalam program SM3T Kemdikbud.
Tak pelik, anak-anak kampung terpencil di hulu Mahakam ini harus berlomba bersama naiknya kabut pagi agar tak terlambat masuk sekolah. Jarak kampung ke sekolah itu sejauh berperahu ces selama kurang lebih 30 menit.
Pukul 7.30 pagi sekolah di mulai, dan Pak Serdi bersiap-siap di depan kantor dengan buku absen dan besi pemukul bel di tangan kanannya. Di tempat asal saya, pukul 6 pagi itu jalanan aspal sudah terang, hangatnya matahari pagi sudah terasa. Lain tempat lain cerita, di kampung ini jam 12 siangpun belum tentu menemukan sembulan matahari tertutupi kabut tebal. Berperahu ces ke sekolah di pagi hari ibarat berkendara di kerabunan. Tak ada pilihan lain, akses darat yang belum ada memaksa anak-anak itu belajar menggunakan indera 'kesekian' untuk mengenali seluk beluk sungai Mahakam yang tertutupi kabut.
Yang paling berat ialah ketika hujan deras melanda. Jika air Mahakam meluap, pusaran air bertambah banyak, arus sungai semakin beriam-riam. Tak sedikit kejadian perahu terbalik terhempas arus dan menghantam gelondongan kayu di aliran sungai. Yang paling terparah pernah menenggalamkan seorang siswa. Memilih bertahan di rumah melewatkan kejutan baru dari ilmu magicnya pak Jalaq atau berbasah-basahan ria ke sekolah. Suatu pilihan yang sulit.
71 tahun Indonesia merdeka, wacana pembukaan jalur darat yang memadai sudah kudengar dari 'Beliau-Beliau yang tinggi jabatannya' sejak sekian tahun yang lalu, tapi hingga saat ini masih perahu inilah yang menemani pendidikanku.
Tak pelik, anak-anak kampung terpencil di hulu Mahakam ini harus berlomba bersama naiknya kabut pagi agar tak terlambat masuk sekolah. Jarak kampung ke sekolah itu sejauh berperahu ces selama kurang lebih 30 menit.
Pukul 7.30 pagi sekolah di mulai, dan Pak Serdi bersiap-siap di depan kantor dengan buku absen dan besi pemukul bel di tangan kanannya. Di tempat asal saya, pukul 6 pagi itu jalanan aspal sudah terang, hangatnya matahari pagi sudah terasa. Lain tempat lain cerita, di kampung ini jam 12 siangpun belum tentu menemukan sembulan matahari tertutupi kabut tebal. Berperahu ces ke sekolah di pagi hari ibarat berkendara di kerabunan. Tak ada pilihan lain, akses darat yang belum ada memaksa anak-anak itu belajar menggunakan indera 'kesekian' untuk mengenali seluk beluk sungai Mahakam yang tertutupi kabut.
Yang paling berat ialah ketika hujan deras melanda. Jika air Mahakam meluap, pusaran air bertambah banyak, arus sungai semakin beriam-riam. Tak sedikit kejadian perahu terbalik terhempas arus dan menghantam gelondongan kayu di aliran sungai. Yang paling terparah pernah menenggalamkan seorang siswa. Memilih bertahan di rumah melewatkan kejutan baru dari ilmu magicnya pak Jalaq atau berbasah-basahan ria ke sekolah. Suatu pilihan yang sulit.
71 tahun Indonesia merdeka, wacana pembukaan jalur darat yang memadai sudah kudengar dari 'Beliau-Beliau yang tinggi jabatannya' sejak sekian tahun yang lalu, tapi hingga saat ini masih perahu inilah yang menemani pendidikanku.

0 Response to "PERAHU DAN PENDIDIKANKU"
Post a Comment